
Hei,
perkenalkan, namaku Dava Iqbal Fathurrahman. Panjang memang. Tapi
kalian cukup
memanggilku Dava. Ingat, D-A-V-A. Ya, aku seorang remaja ibukota yang keren
pastinya. Aku punya hobi bermain basket. Basketball
is my life. Begitulah kira-kira. Aku duduk di kelas IX di Raktavire’s
Junior High School. Disini, aku sangat nyaman. Gurunya kebanyakan keren-keren,
mengajar tanpa terlihat menggurui. Teman pun asyik-asyik. Pembelajaran
berlangsung dengan menarik. Beraneka ekstrakurikuler bisa dicoba disini.
Tinggal pilih sesuai minat dan bakat. Ah, aku bersyukur sekali bisa belajar di
sekolah ini.
“Hei,
kau disini rupanya,” seseorang menepuk bahuku. Dialah Arletta, sahabatku yang
paling baik. Dia sahabat terbaikku sedari dulu, sejak kami masih kecil.
Bayangkan, aku dan dia lahir di tempat yang sama, dengan selisih waktu hanya
dua menit! Mamaku dan mama Arletta memang bersahabat baik, macam aku dan dia.
Kadang aku merasa dia seperti adik kembarku!
“Ada
apa?” aku bertanya tanpa mengalihkan pandanganku dari semangkuk bakso yang
sedang kusantap. Dia menggeleng kecil, lalu duduk di sampingku. “Kenapa kemarin
absen lagi, Ar?” aku kembali bertanya. Arletta menatapku cukup lama.
“Yee..
Arletta. Ditanya malah melamun! Awas nanti kesambet lho,” aku menggerakkan
sendokku di depan wajah Arletta. Sontak Arletta memundurkan wajahnya, kaget.
“Eh, iya apa? Sory sory, aku lagi nge-blank nih..” ucapnya kemudian.
“Kemarin kenapa absen lagi?” ulangku. “Oh,
itu.. anu. Aku.. aku ke rumah sa.. eh,
maksudnya ke rumah tante. Iya, ke rumah Tante Ratna di Bandung,” jelas Arletta
belepotan. Aku menaikkan alisku. “Tante kamu.. yang waktu liburan kita kesana itu?”
aku menatap Arletta. “Yup. Yang waktu itu kamu tersesat di hutan sana, terus teriak-teriak
nggak jelas seperti Tarzan, dan padahal aku ada di belakang kamu. Haha, ” Arletta
mengingatkanku pada kejadian 2 tahun yang lalu saat kami berlibur di desa
tantenya Arletta. Jadi ceritanya, dulu aku dan Arletta serta beberapa teman
dari desa sana camping di hutan. Nah,
waktu mencari kayu bakar, tanpa sengaja aku kehilangan jejak teman-teman
gara-gara keasyikan lihat monyet gelantungan di pohon. Aku udah kebingungan
gitu, mana hari hampir gelap pula. Eh, ternyata aku dikerjain! Teman-temanku memang
sengaja membiarkan aku berjalan duluan, dan mereka mengikuti lambat-lambat dari
belakang. Jujur, waktu itu aku pingin nangis! Setelah mendengar teriakan
‘panik’ dariku, baru deh teman-teman menyusul. Huaa.. aku malu banget kalau
ingat itu.
“Yee.. malah ngejek lagi. Dasar gigi
kelinci! Kemarin ada materi tambahan, tuh. Terus besok kamu ikut ulangan
susulan Fisika. Materinya sudah ada semua di flashdisk-ku. Kamu bisa pinjam
nanti,” terangku. Arletta tersenyum. “Ah, kamu memang baik Dav. Thank’s ya..” ucapnya. “Dava gitu loh,”
candaku.
Waktu berputar dengan cepat. Bel tanda
pulang baru saja berbunyi. “Coy, pulang yok?” ajak Reza dan beberapa orang
kawanku. “Duluan aja. Aku masih menunggu Nyai-ku,” jawabku santai. Mereka
tersenyum mengangguk, paham maksudku. Ya, menunggu ‘nyai-ku’, siapa lagi kalau
bukan Arletta. Ah, mana pula bocah ini? Lama sekali.
“Dav, ayo pulang! Kamu ngapain disitu?”
celoteh seseorang yang aku kenal sekali suaranya. “Nunggu kereta api lewat! Ya,
nunggu kamu lah. Lama banget, sih?” sungutku. “Hehe, maaf. Aku tadi menghadap
Bu Suci dulu,” terang Arletta. “Ngapain menghadap Bu Suci?” aku mengernyitkan
dahi. “Ah, biasa, soal absenku,” jawab Arletta. Aku manggut-manggut. Akhir-akhir
ini Arletta memang sering absen. Banyak sekali materi yang ia tinggalkan. Pantas
saja kalau dia dipanggil BK. “Ya sudah, pulang sekarang, kan?” lanjutku. “Em,
kamu mau nggak nganter aku ke toko buku dulu? Ada beberapa buku yang harus aku
beli, nih. Buat ngejar materi.. dua bulan lagi kan tryout,” ucapnya. “Okee.. kamu bisa pinjam catatanku kok. Atau
teman yang lain juga bisa. Aku yakin mereka mau bantu kamu,” kataku. Arletta
hanya tersenyum. “Iyap, terimakasih ya.. berangkat yuk? Keburu sore nanti,”
jawab Arletta. Kami pun berangkat menuju toko buku.
Tepat sampai di parkiran toko buku, hujan
turun begitu deras. Seolah-olah, langit yang kian menghitam tak kuasa menahan
butiran air yang membebaninya. Untunglah, aku dan Arletta sudah sampai di toko
buku. Kalau tidak, wahh.. bisa gawat. Habis, aku nggak bawa mantel, sih.
Menunggu. Itu sebuah kata menyebalkan yang
saat ini kualami. Ya, menunggu Arletta memilih buku. Gila, lama nian dia
memilih buku. Entah sudah berapa kali dia memutari rak bagian Buku Pendidikan.
Ah, kenapa nggak langsung jebret dipilih, bayar ke kasir, terus selesai kan?
Kenapa harus pakai acara muter-muter dulu? Dasar perempuan, ribetnya minta
ampun!
Satu jam berlalu. Arletta belum juga selesai
memilih buku. Aku yang terkantuk-kantuk di pojok ruangan pun mulai sebal
menantinya. “Ar, sudah belum, sih?” tanyaku. Dia tersenyum. “Ee.. sebentar ya,
10 menit lagi.. tinggal dikit kok, hehe,” Arletta nyengir menatapku dengan
wajah tanpa dosa. Ampun, deh!
Akhirnya, setelah satu jam lebih Arletta
selesai juga. Sepulang dari toko buku, aku mengajak Arletta makan di sebuah rumah
makan di taman kota. Menu favorit kami, biasa.. soto dan jeruk panas.
“Habis hujan gini enaknya makan yang
hangat-hangat ya, Dav?” celetuk Arletta. Tangannya menyentuh butiran air sisa
hujan tadi siang yang menempel di dedaunan taman. “Ah, aku ingin seperti hujan,
yang selalu membawa rasa tenang tiap hadirnya. Dan ia juga akan selalu
meninggalkan kesegaran setelah pergi. Kadang, perginya juga disertai keindahan
pelangi. Pelangi yang begitu indah. Siapa sih yang nggak suka pelangi? Semua
orang pasti suka,” ucap Arletta tiba-tiba. Matanya sendu, menatap hamparan
bunga di taman. “Ahh..” Arletta mendesis pelan. Tangannya memegangi dada,
seperti sedang menahan sakit. “Kau baik-baik saja?” tanyaku. Dia mengangguk.
“Aku cuma bercanda kok,” ucapnya sembari tetap memegangi dada. “Halahh...
kukira sungguhan,” rutukku. Dia tersenyum simpul.
“Permisi, ini pesanannya,” seorang pelayan
menghidangkan pesanan kami. “Oh, terimakasih..” jawabku. “Udah jangan
mengkhayal terus. Nih, dimakan!” sambungku. Arletta hanya tersenyum. “Em, final
basketnya kapan, Dav?” tanya Arletta. Ya, aku memang sedang berjuang bersama
tim basket sekolahku untuk memegang kembali juara bertahan. “Lusa. Kamu nonton
nggak?”. “Pasti lah! Aku suporter utamamu pokoknya. Nanti aku akan bawa spanduk
besar bertuliskan “SEMANGAT DAVA”, gitu. Biar kamu jadi semangat mainnya terus
sekolah kita menang, deh! Awas lho kalau nggak menang..” jawab Arletta. Matanya
melotot, berlagak mengancamku. Ah, dasar gigi kelinci.
Oh, iya. Mungkin kalian bingung kenapa aku
sering memanggil Arletta dengan sebutan ‘gigi kelinci’. Itu panggilan sayangku
untuk Arletta. Soalnya, gigi Arletta memang kecil-kecil, macam gigi kelinci.
Matanya bening, pandangannya hangat. Rambutnya panjang terurai, kadang juga
dikucir. Ah, dia memang cantik. Banyak teman lelakiku yang nge-fans padanya. Tapi itu tidak berlaku untukku. Kami sudah lama
dekat. Sudah lama bersahabat. Sejak lahir malah. Jadi, ya udah nggak bisa
dibedakan antara rasa yang biasa atau di luar biasanya.
Seusai mengantar Arletta ke rumah, aku
bergegas pulang. Setumpuk tugas sudah menungguku. Aku menengok schedule-ku yang tertempel di dinding
kamar. Besok tanggal... 19 Desember.
Tampak deretan tugas tertempel di tanggal itu. Wuiihh.. lembur nih. Aku
putuskan untuk mandi, menyegarkan badan kembali. Kemudian aku berkutat dengan
setumpuk tugas yang.. Ya Tuhan.. pening kepala ini dibuatnya.
Pagi menyapa. Sorot lembut mentari pagi
memasuki kamarku. Alarm di sampingku berbunyi nyaring. Mataku merem melek,
malas bangun. Kenapa sudah pagi lagi, sih? Cepat sekali. Aku kan masih ngantuk.
Dengan posisi masih tengkurap setengah
sadar, tanganku meraba-raba meja di samping tempat tidurku untuk mematikan jam
beker. PYARR....!!!!
Tanpa sengaja aku menyenggol sebuah figura
kecil yang bersebelahan dengan jam beker. Sontak aku langsung bangun. Figura
itu pecah. Dan, astaga! Ini kan fotoku bersama Arletta ketika bayi dulu? Duh,
kok bisa jatuh, sih? Aku pun memunguti pecahan kaca yang berserakan di lantai.
“Aw,” aku mendesis kecil. Darah mengucur
dari jari telunjukku. Jariku tertusuk pecahan kaca. Dasar Dava! Selalu ceroboh.
Aku pun mengambil kotak P3K di laci meja dan mengobati lukaku.
Karena insiden tadi pagi, aku agak siang
sampai sekolah. Disana tampak teman-temanku sudah berkerumun di kelas. Cas cis
cus. Memperbincangkan segala hal yang entah kenapa diperbincangkan. Hal-hal
yang konyol. Mulai dari model jam tangan terbaru, keluhan tugas yang menumpuk,
hingga entah kenapa bisa sampai cerita Mpok Nori. Aku yang sedang malas, hanya menjadi
pendengar tekun di belakang.
Arletta
yang duduk semeja denganku masih bertahan dengan buku tulisnya. Biasa, dia lupa
mengerjakan PR untuk jam pertama. Padahal jam pertama Matematika pula. Tapi
heran juga aku, meski dia sudah ditawari beberapa teman untuk mencontek,
Arletta bersikeras menolak. Dan hebatnya lagi, dia selalu bisa mengerjakan
semua soal yang diberikan, meski dalam keadaan tergesa-gesa. Dan yang lebih
hebatnya lagi, jawabannya pasti benar. Elok sangat dia.
Aku
sengaja tidak memperlihatkan jariku yang sedang sakit. Nanti kalau Arletta tahu
figura itu pecah, wah, bisa barabe. Figura yang aku pecahkan itu dari Arletta.
Dan foto di dalamnya merupakan foto yang paling kami sukai. Ah, aku memang
ceroboh.
Jam
terakhir pelajaran, terasa membosankan. Waktu seperti malas berputar. Mataku
sebal menatap Ms.Ariana, guru setengah tua yang (maaf) killer dan selalu berteriak jika berbicara. Yang jika ada jam
pelajarannya, itu berarti harus menghadapi hujan ludah. Terutama bagi yang
duduk di depan. Yup! Guru kita ini jika berbicara pasti ludahnya terbang
kemana-mana. Bisa dibayangkan betapa anunya
keadaan kami kala beliau mengajar. Untung saja hari ini aku duduk di tempat
strategis, pojok kiri belakang. Aman pokoknya. Tapi, mau tak mau ya itu guru
kita. Ah, aku sungguh amat sangat berharap bel pulang segera berbunyi. Ingin
rasanya aku kabur dari tempat ini.
Sepulang
sekolah, aku bergegas menuju lapangan basket. Sekarang hari Jum’at, latihan
terakhir sebelum pertandingan final.
Dari
kejauhan, tampak Arletta berlari ke arahku. “Dav, bisa mengantarku pulang
sebentar?” tanyanya kemudian. “Duh, maaf Ar. Aku bukannya nggak mau, tapi
sekarang ada latihan buat pertandingan besok. Coba kamu minta tolong teman yang
lain,” tolakku pelan. “Oh, kamu latihan, ya? Maaf, aku nggak tahu. Yaudah deh,
aku coba minta teman yang lain,” jawab Arletta. “Kamu yang semangat, ya, Dav
latihannya. Berikan yang terbaik! I’ll be
there for you!” ucapnya sambil menepuk pundakku, lalu berbalik dan pergi.
Sepintas wajah Arletta sedikit berbeda. Pandangannya tadi agak sayu. Wajahnya
juga pucat. Ah, tapi bagaimana, ya? Aku juga sibuk. Ah, entahlah.
Akhirnya
event yang kami nantikan tiba. Ya, hari ini adalah final RBC, Raktavire’s Basket Competition, sebuah
ajang bergengsi yang selalu dinantikan para remaja tingkat SMP di kotaku. Ajang
ini diselenggarakan setiap 1 tahun sekali oleh pemerintah kota Raktavire. Dan
syukurlah, sekolahku selalu menduduki peringkat pertama. Semoga, gelar “juara
bertahan” tahun ini tetap menjadi milik sekolahku. Dan kebetulan pula tahun ini
sekolahku yang menjadi tuan rumah.
Para
suporter tampak berjejal memenuhi kursi penonton. Sorak sorai terdengar
menggema, saling mendukung tim sekolah masing-masing. Dalam final ini sekolahku
betemu dengan Soldhev’s Junior High School. Sekolah yang terkenal pula dengan
ketangguhan tim basketnya. Hampir setiap tahun kami bertemu dalam final. Bismillah,
semoga membawa hasil maksimal.
Babak
pertama telah selesai, dan syukurlah sekolahku lebih unggul. Aku memanfaatkan
waktu break untuk menyiram tenggorokanku
yang sudah tandus. Em, Arletta mana ya? Biasanya saat begini dia akan datang, membawakanku
paling tidak sebotol air mineral. Tapi sekarang dia dimana? Dari sekian banyak
suporter sekolahku, tak kutemukan batang hidungnya. Katanya suporter utamaku,
sekarang buktinya?
Waktu
berputar cepat. Tak terasa, pertandingan basket telah usai dan dimenangkan oleh
sekolahku. Yeah, akhirnya. Tapi, herannya, aku tak merasa senang sedikitpun.
Perasaanku biasa saja, hambar. Ah, aku
kenapa, sih? Harusnya kan aku senang.
Lapangan sudah sepi. Aku berjalan lesu
menuju pinggir lapangan untuk mengambil bola basketku yang tadi kubawa untuk latihan
sebelum pertandingan. Aku memang sering membawa bola basket ke sekolah.
“Guys, sudah mau pulang, nih?” tanya seseorang
dari belakangku. Kevin. Kapten tim basket sekolahku. Aku mengangguk. “Iya, nih.
Aku agak nggak enak badan,” jawabku kemudian. “Yahh.. gimana sih? Kok malah
sakit? Berarti kamu nggak ikut makan-makan dong?” Kevin menatapku. “Aku titip
muka saja lah. Salam aja nanti sama teman-teman. Yaudah, aku duluan, ya..”
ucapku sambil berlalu. “Yup! GWS ya, Dav..” jawab Kevin. Aku hanya mengangguk
sambil tersenyum.
Di rumah,
mama menyambutku dengan hangat. “Gimana
sayang pertandingannya?” tanya mama lembut, sembari mengambilkan air putih untukku.
“Menang, Ma.” Jawabku singkat. “Wah, selamat ya. Mama diajak makan-makan gak
nih?” tanya mama sambil mengangkat alis kanannya, mengajakku bercanda. “Siip..
nanti mama mau minta apa aja, akan Dava kasih. Tapi... “ aku berhenti sejenak.
“Tapi apa?” tanya mama. “Tapi nanti papa yang bayar! Hahaha.. “ jawabku sekenanya.
“Hmm, dasar!” mama merengut, pura-pura marah.
Seusai
makan siang, aku tiduran di sofa. Aku menatap sebuah kotak musik merah, hadiah
dari Arletta saat aku ulang tahun.
Jika kamu
merindukanku, tataplah kotak musik ini. Dengarkan lembut suaranya, pejamkan
matamu. Dan bayangkan ada aku di depanmu. Jangan pernah merasa sendiri. Aku
nggak akan pernah pergi, karena aku akan selalu disini,
Masih terngiang kata-kata lembut Arletta
saat dia memberiku kotak musik ini. Senyumnya, ketika dia mengatakan aku akan selalu ada disini, sambil
menunjuk dadaku. Ah, sekarang Arletta dimana, ya? Aku coba hubungi nomor
telponnya juga nggak aktif. Hm, kamu dimana gigi kelinci?
PRAAKK...
Aku
melamun! Dan tanpa sengaja kota musik itu lepas dari genggamanku. Ya Tuhan,
kotak musik itu patah! Aduh, kalau Arletta tahu bisa gawat, nih. Bisa-bisa aku
dimarahi habis-habisan. Ah, aku ceroboh banget, sih... bagaimana ini? Aku
mencoba menyambungkan kembali bagian yang patah menggunakan lem. Ya,
memang bisa sih. Tapi, tetap saja masih
terlihat bekas patahan itu. Aduh, bagaimana sih aku?
Langit
senja mengoranye indah. Kepakan sayap burung walet terlihat menghias kota. Sore
itu, perasaanku terasa tidak enak. Entah kenapa, aku jadi kepikiran dengan
Arletta. Sejak tadi handphonenya aku
hubungi tidak aktif. Entah sudah berapa kali aku bolak-balik dari kamar, ke
ruang keluarga, lalu ke kolam renang, ke taman, dan kembali lagi ke kamar.
Pikiranku kacau. Ah, ada apa gerangan? Mama dan papa yang sedang duduk santai
di beranda depan heran menatapku.
“Kamu
kenapa, Dav? Dari tadi mondar-mandir nggak jelas? Duduk gitu lho,” papa
menegurku. Aku hanya tersenyum. “Nggak kenapa-kenapa kok. Bosen aja di rumah
terus,” jawabku singkat sembari
mendekati mama dan papa. “Gimana, nih, katanya jagoan papa menang?” papa
menggodaku. Aku hanya tersipu. “Pajaknya dong...” tambah mama. “Ciee.. tukang
pajak lagi nagih..” aku membalas candaan orang tuaku. “Oke, deh, pajaknya papa
yang bayar,” jawab papa. “Tuh, kan, Ma. Papa mau bayarin...” timpalku sambil
melirik mama. Mama tersenyum. “Ya sudah, makan-makan di luar, yuk?” ajak mama.
“Siipp.. kebetulan perutku juga sudah konser, nih,” jawabku. “Tapi.. ini papa beneran
kan yang bayar?” aku memastikan sambil melirik papa. Papa tersenyum. “Sudah,
tenang saja. Mumpung lagi awal bulan. Yuk, keburu Maghrib nanti,” ajak papa. Aku
dan kedua orang tuaku akhirnya pergi ke sebuah kafe untuk makan-makan.
Matahari
telah kembali ke peraduannya dan muncul lagi menyinari dunia. Hari ini hari
Minggu. Seusai sarapan pagi, aku duduk bersandar di tempat tidurku. Aku
mengedarkan pandanganku keluar kamar. Matahari terbit dari ufuk timur, selalu
begitu. Hangat sinarnya menyelusup lewat jendela, menghangatkan tubuhku. Setiap
pagi juga begitu, tak pernah berubah. Bulir embun yang memantulkan cahaya
matahari, tetap saja di atas daun, untuk kemudian turun menetes dan menghilang.
Membosankan. Aku mengambil gitar di pojok kamar dan ‘bergenjreng’ ria menikmati
pagi ini. Sebuah lagu kudendangkan, melepas keresahan di hatiku.
Aku
melihat sejenak keadaan kamarku. Hufftt.. macam kapal pecah. Akhirnya
kuputuskan untuk berhenti bermain gitar dan merapikan kamarku. Hehh.. kalau
mama tahu kamarku seperti ini, pasti dia mengomel. Ya, walaupun aku tahu
omelannya karena sayang sama aku. Tapi lebih baik aku rapikan daripada
mendengar omelan mama. Lagipula, mengundang omelan itu juga dosa, kan? Apalagi mengundang
omelan seorang ibu.
Tok, tok..
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarku. Ah, siapa
juga sih? Mengganggu saja. Mau tak mau aku yang sudah siap sedia untuk
beres-beres harus meninggalkan pekerjaanku dan membuka pintu.
Mama dan papa.
“Ada apa, Ma, Pa?” tanyaku. Mama dan
papa menatap wajahku, sendu. Mata mama berkaca-kaca, seperti seseorang yang
sedang berduka. “Hei, ini ada apa, sih?”
tanyaku heran. “Mama kenapa menangis?” tambahku.
Papa
menarik nafas panjang. “Kamu yang sabar, ya, Nak,” ucap papa sembari mengelus
kepalaku. “Sabar? Sabar kenapa? Aku nggak paham, Pa, ’’ keningku berkerut.
“Ar, Arletta, Dav.. Arletta...” kata-kata mama
tersendat. “Arletta? Arletta kenapa, Ma?” tanyaku. Aku menatap mata mama.
Jantungku berdegup kencang kala nama Arletta disebut di situasi seperti ini.
Mama hanya terdiam, air matanya menetes makin deras. “Ma.. Arletta kenapa?” aku
semakin kebingungan. “Pa?” aku berganti menatap papa, mengharap jawaban
darinya.
“Arletta..
Dia sudah kembali, Nak..” jawab papa. “Kembali darimana? Memang Arletta pergi
kemana, Pa?” aku benar-benar bingung. “Arletta.. pergi sayang..” mama berusaha
menjelaskan. “Dia.. dia sudah pergi.. kembali ke Yang Kuasa..” jawab mama.
Deg!
Badanku langsung lunglai. Entah perasaan
apa yang ada di hatiku saat itu. Aku tak bisa mendefinisikan. Berjuta perasaan ambyur
jadi satu. Antara kaget, sedih, takut, tak percaya, dan rasa-rasa lain yang
entah apa namanya.
“Nggak, nggak! Papa sama mama pasti
bohong! Iya, kan? Papa dan mama bercanda, kan?” aku mengguncang tubuh mereka,
mencari kepastian. “Papa nggak bohong, Dav. Beneran. Beberapa menit yang lalu mama
Arletta menelpon ke rumah, memberi kabar duka itu. Kamu harus sabar sayang.
Kamu harus belajar kehilangan,”
nasehat papa. “Tapi.. tapi ini konyol banget, Pa. Sudahlah jangan bercanda.
Nggak lucu, Pa. Bagaimana mungkin Arletta yang selalu ada buat aku, selalu
menemani hari-hariku, pergi begitu saja? Dua hari yang lalu kami masih bersama.
Arletta masih bisa bercanda, tertawa. Dan sekarang? Nggak mungkin, Pa.. Ini
terlalu nggak mungkin..” aku masih berusaha untuk mendengar kalimat “Iya, papa dan mama hanya bercanda,”.
Tapi,
harapanku ya hanya sekedar harapan. Semua sudah menjadi kehendak Tuhan. Arletta
memang benar-benar pergi. Ya Tuhan, pergi dan kehilangan adalah dua kata yang sama sekali tidak pernah ingin aku
alami. Dua kata yang tidak ingin aku dengar. Dan, sekarang aku mengalami dua
kata itu. Kata yang terlalu menyakitkan menurutku. Dan, ternyata.. selama ini
Arletta berjuang melawan kanker paru-paru yang menggerogotinya. Dia dapat
bertahan lebih dari 7 tahun melawan kankernya. Jauh dari perkiraan dokter yang
menangani Arletta. Semangat untuk sembuh, itulah yang membuatnya bertahan lebih
lama. Aku merasa jahat sekali selama ini tidak tahu keadaan Arletta yang
sebenarnya. Arletta memang menyimpan rapi ini semua dariku. Dia tak ingin
membuat aku khawatir.
Tapi,
biarlah, Desember ini menjadi Desember terakhirku bersama Arletta. Manusia
hanya bisa berharap, mencita, tapi Tuhan sesungguhnya merencana dengan cinta.
Aku yakin, dibalik semua ini, pasti akan ada hal yang jauh lebih indah.
Biarlah, Arletta pergi. Itu akan lebih baik, daripada dia tetap disini dengan
rasa sakit yang memeluknya. Aku harus belajar mengikhlaskan. Walau itu sangat
sulit bagiku.
Ar, semua memori tentang kita akan selalu
ada disini, di hatiku, meski engkau sudah pergi jauh. Engkau juga akan selau
disini, di hatiku, seperti kata-katamu dulu. Semua kenangan akan selalu aku
simpan rapi. Meski engkau pergi, kau akan tetap ada di kehidupanku, di
kehidupan hatiku. Karena sesungguhnya cinta dan kasih sayang itu kekal abadi. Dan
inilah hidup, ada datang dan ada pula pergi. Hidup mati. Suka duka. Semua sudah
berdampingan. Mungkin memang lebih baik engkau pergi. Sebab, jika kau disini,
itu sama saja akan menyiksa dirimu. Maafkan aku yang sama sekali tidak
tahu-menahu dan tidak pula berusaha mencari tahu tentang keadaanmu. Aku sayang
kamu kawan.
Arletta, baik-baik, ya disana!**alyzhafira
Wonosari, Desember
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar