Jumat, 29 Mei 2015

Lily Putih ~ Ketika Sekuntum Lily berbicara - Cerpen



       
       “Ma’afkan aku, tapi sungguh aku tidak bisa pulang bulan ini. Aku ada proyek kerja yang cukup besar. Kumohon maklumlah jika proyek ini akan cukup menyita waktu. Sepuluh menit lagi pun aku harus sudah siap di ruang meeting. Benar-benar tidak ada waktu, Sayang. Ma’afkan aku..”
           Tut.
          
Pria itu memutuskan sambungan telepon dan kembali menyibukkan diri dengan tumpukan kertas
di meja kerjanya. Proyek, proyek, dan proyek. Pikiran tentang proyek kerja terus berputar di  kepala lelaki dewasa itu.
            Jam dinding berdetak keras. Detaknya selalu setia menemani pria itu. Sedetik yang lalu, dua detik, sekian detik, dan detik-detik berikutnya. Terdengar pula desis lembut mesin AC yang menyala sedari tadi. Buku-buku besar berbaris rapi di dalam almari. Kertas-kertas yang menumpuk di meja kerja, sebagian tampak tersebar tak beraturan di meja yang berada tepat di depannya. Sofa putih yang empuk. Meja pualam yang mengkilap. Lukisan-lukisan ‘berkilau’ yang menghias dinding kerjanya. Tidak ada kata ‘usang’ di sana. Yang ada hanyalah ‘mewah’, ‘anggun’, dan ‘indah’. Semua barang-barang di sana selalu nampak indah. Diantara sekian banyak barang indah yang terdapat dalam ruang elit itu ada sebuah bingkai foto yang terlihat berdebu dan tidak terurus. Seorang lelaki dewasa yang berdampingan dengan wanita dewasa nampak tersenyum disana. Pria itu terlihat sedang memeluk seorang anak laki-laki. Sedangkan sang wanita menggendong seorang bayi perempuan yang begitu manis.
            Terngiang-ngiang dengan percakapan bersama istrinya tadi, pria itu membanting pulpen miliknya. Ia mendesah  keras seiring ingatannya dengan kedua anak dan wanita cantik dalam bingkai foto itu. Benaknya terasa sesak, saat ia sadar bahwa sudah bertahun-tahun dia tidak memberi sebuah belaian lembut kepada anak-anaknya. Tidak pula ia melihat senyum anggun dari bidadari yang sangat dia cintai. Bahkan dia sudah lupa kapan terakhir kali melewatkan pesta tahun baru bersama keluarga.
            Keluarga. Satu hal yang tidak asing lagi dari telinga. Keluarga adalah anugerah luar biasa yang Tuhan berikan kepada kita. Ketika kita sama sekali tidak punya sandaran, keluarga selalu membuka pelukannya lebar-lebar, kapanpun itu. Begitupun ketika  bahagia tiba. Senyum manis selalu terlukis indah di raut wajah mereka. Siapapun akan merasa hangat berada di tengah keluarga yang benar-benar rukun menemaninya di kala bahagia ataupun duka.
            Ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat, berusaha kembali memfokuskan diri dengan apa yang berada di atas meja kerjanya. Dia merelakan dan mengabaikan rindu itu demi menghidupi keluarga kecilnya. Sungguh, ia sungguh sayang pada keluarganya. Lagi-lagi ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat untuk menghilangkan pikiran-pikiran negatif dalam benaknya.
            “Permisi Pak Arifin, klien kita sudah menunggu di ruang meeting. Ini juga ada berkas baru yang harus bapak tanda-tangani,” seorang wanita bertubuh ramping berdiri di samping pria itu setelah sebelumnya mengetuk pintu ruangan. Pria itu hanya mengangguk, mengambil pulpen, dan segera menandatangani setumpuk berkas yang diserahkan sekretarisnya. Kemudian ia berjalan menuju ruang meeting.
            Sore itu selesai meeting, udara terasa begitu gerah. Berbagai pikiran yang berkecamuk di hatinya membuat suasana makin gerah. Ia melangkahkan kakinya keluar, mencari udara segar.
            Cuaca panas, hiruk pikuk senja ibukota dengan para pejalan kaki yang gerah dengan beribu-ribu pemikiran yang melayang. Klakson-klakson yang seakan bersahutan satu dengan yang lain. Macet. Lagi-lagi penyakit ibukota kambuh. Banyak para pengendara mulai gusar. Bagaimana jika terlambat solat? Bagaimana jika terlambat sampai di rumah? Bagaimana, bagaimana, dan bagaimana? Beribu pikiran sudah melayang dan tidak sedikit yang mulai terpancing amarah.
            Berniat mencari udara segar tapi malah terjebak kemacetan membuat lelaki itu mulai frustasi. Ia mulai gusar, menggerutu sebal. Hampir setengah jam lebih kendaraan tak bergerak.
            Pria itu tersadar dari pikirannya saat seorang gadis lusuh dengan sorot mata penuh harap mengetuk kaca mobilnya. Gadis cilik itu memeluk setumpuk koran yang nampaknya sudah bekas. Rambut panjangnya yang dikucir terlihat kusut dan tidak terawat. Kulitnya kasar dan terlihat kusam.
            “Permisi, Paman, maukah kau membeli koran ini?”
            Lelaki itu mengernyitkan dahi. Ia bertanya-tanya dalam hati. Kenapa gadis kecil yang begitu manis, dan bahkan usianya masih terhitung jari sudah berkerja sekeras ini? Ya Tuhan, di dunia yang begitu kejam dia sudah mampu mencari uang. Sepintas terlintas bayangan anak perempuannya yang kira-kira seusia dengan gadis lusuh itu. Dan ia menyadari anak perempuannya sendiri masih sering menangis di pangkuan ibunya. Jauh berbeda dengan gadis lusuh yang menawarkan koran ini. Rasa iba mulai menyelimuti hatinya.
            Menyadari gadis itu terus-terusan memandangnya dengan penuh harap, lelaki itu berdehem dan bertanya kepadanya.
            “Kenapa kau menjual koran-koran bekas ini?”
            Gadis itu kemudian memandangi koran yang dipeluknya sembari tersenyum penuh semangat.
            “Sudah lama aku menjual koran-koran bekas ini. Tetapi jarang laku. Padahal hari ini ibuku berulang tahun, dan uangku tidak cukup untuk membeli sekuntum bunga Lily sebagai kado ulang tahun ibuku. Aku mohon paman, belilah koran ini, aku mohon...” gadis itu memohon dengan sangat sembari mengusap peluh di dahinya.
            Dalam sekejap perasaan sesak memenuhi hatinya. Ya Tuhan, hanya demi membelikan hadiah ulang tahun untuk ibunya, gadis ini rela kepanasan berjualan koran? Disaat orang-orang yang bergelimang harta sibuk menghabiskan kekayaannya, disaat para pemimpin-pemimpin negara yang duduk dengan bangga di singgasananya sibuk mengisi perut, gadis lusuh yang seharusnya duduk manis menerima pelajaran di kelas ini justru sibuk dengan koran-koran bekasnya. Dengan sorot mata penuh harap, bibir tipis yang tak henti-hentinya tersenyum, dan peluh yang bercucuran, gadis itu terus bersemangat mencari uang. Padahal di luar sana, anak-anak seusianya masih meminta dengan manja kepada orang tua mereka. Pria itu meringis melihat pemandangan di sana. Di tengah dunia yang kian kejam, gadis lusuh tersebut masih berusaha memberikan yang terbaik untuk sang ibu. Bagaimana dengannya? Apakah dirinya sudah benar-benar memberikan kasih sayang dan perhatian yang cukup untuk keluarganya?
            “Jadi.. bagaimana, Paman? Apakah Anda mau membelinya?” gadis itu kembali tersenyum
            Pikirannya buyar seketika. Tanpa ragu, ia mengeluarkan dompet dari saku celananya. Wajah gadis itu semakin cerah saat tahu koran-korannya akan dibeli. Tapi ketika sang pria mengulurkan uang padanya, gadis itu tampak kebingungan. Alisnya berkerut.
            “Mmm.. Maaf, Paman, uangnya terlalu banyak. Paman ingin membeli berapa?” gadis itu bertanya dengan wajah polos. Lelaki itu tersenyum lembut. Ia menatap mata gadis itu.
            “Ambillah uang ini, belikan sekuntum bunga Lily untuk ibumu. Hari ini ibumu berulang tahun, bukan?”
            Mata gadis lusuh itu nampak bersinar. Ia tidak percaya ada yang mau membeli korannya, bahkan dengan uang lebih. Dia nampak sangat bahagia dan mengucapkan rasa terimakasihnya bekali-kali.
            “Bagaimana jika Paman ikut aku? Pasti ibu akan senang apabila mengetahui Paman telah membantuku,”
            Sungguh, pria itu bukan sembarang pria. Dia sudah lihai dalam kehidupan sosial. Pria itu telah bertemu dengan orang-orang yang berbeda kepribadian. Sudah handal mengatasi klien-klien licik. Tapi dalam momen sesingkat itu, seketika ia percaya kepada seorang gadis cilik yang bahkan baru dikenalnya senja itu. Ia menganggukkan kepalanya dan mempersilahkan gadis lusuh itu masuk ke dalam mobil.
            “Mmm.. Paman, aku belum pernah menaiki mobil semewah ini. Aku tidak tahu cara masuknya,” gadis itu berkata sambil nyengir. Pria dewasa itu tersenyum tipis dan membukakan pintu mobil untuknya.
            Gadis lusuh itu duduk di kursi belakang. Matanya bersinar memancarkan kekaguman sambil memandangi bagian-bagian mobil lekat-lekat. Ia terkikik melihat kemacetan ibukota dari dalam mobil. Koran-koran bekas itu masih berada di pangkuannya. Dia tersenyum kegirangan saat merasakan kursi empuk yang belum pernah ia temui sebelumnya. Pria itu memandang gadis lusuh itu dengan tatapan haru. Lagi-lagi ia teringat anak perempuannya di rumah. Ah, sungguh, dia rindu!
            Kendaraan mulai berjalan perlahan dan lalu lintas mulai lancar walau seakan berjalan merayap. Mereka berhenti di sebuah toko bunga dan membeli sekuntum Lily putih untuk diserahkan kepada ibu sang gadis. Agak susah mencarinya. Bunga Lily memang jarang diminati. Tetapi entah mengapa, gadis dan ibunya itu sangat menyukainya. Lily putih itu seakan menggambarkan kehidupan mereka. Sebuah kesederhanaan dengan harapan dan ketulusan.
            Beberapa saat kemudian, mereka sampai di sebuah tempat yang sesuai dengan alamat yang diberikan gadis itu. Daerah tersebut cukup asing baginya hingga ia sedikit kebingungan disana. “Paman, ayo turun. Mari bertemu ibuku,” ia tampak bersemangat. Diajaknya pria tersebut turun dari mobil.
            Lelaki itu seketika membeku. Bukan, bukan rumah kumuh atau gubuk reyot yang kini ada di depannya. Melainkan sebuah gerbang besar dari besi berkarat dengan pagar batu yang sudah rusak. Ia menelan ludah, berusaha menyingkirkan kemungkinan terburuk yang akan dia lihat.
            “Ayo, Paman, tidak usah sungkan-sungkan. Mari ikuti aku,” gadis itu tersenyum manis kepada pria yang dipanggilnya ‘paman’ tersebut. Lelaki itu berjalan mengikuti langkah gadis kecil yang mulai memasuki gerbang. Tanah hijau dengan hamparan batu nisan dengan ukiran nama pada masing-masing batu membuat pria itu kembali menelan ludah. Ia berpikir mungkin ibu gadis itu bekerja disini.
            Gadis tersebut melangkah cepat, seolah dia sudah tahu pasti dimana ibunya berada. Ia pun terhenyak tatkala gadis lusuh itu berhenti di sebuah nisan, dan meletakkan bunga Liliy yang ia beli di atasnya.
            “Ibu, hari ini ibu berulang tahun, kan? Selamat ulang tahun, ya.. Ma’afkan aku baru bisa membelikan bunga kesukaan ibu. Ini semua berkat paman ini, Bu,” gadis itu berkata sambil menoleh ke belakang, tersenyum manis sekali kepada lelaki itu.
            Lelaki itu hanya mengangguk, tertegun. Lagi-lagi ia menelan ludah. Ia masih tidak percaya, gadis itu membelikan hadiah ulang tahun untuk ibunya, padahal ibunya sudah tiada. Ia masih ingat kapan ulang tahun ibunya, masih ingat apa yang ibunya suka. Setetes air bening menetes di pipinya. Selama ini dia tidak pernah memikirkan apa yang disukai anaknya, apa yang diinginkan istrinya. Ia tidak pernah berpikir bahwasanya kesempatan untuk bersama yang tersisa suatu saat akan habis. Hatinya teriris melihat pemandangan di depannya. Meskipun maut memisahkan mereka, tapi kasih putih dari gadis itu tidak pernah pudar. Di jantung rindunya sang ibu adalah keabadian, yang mengenalkan dan mengekalkan makna kasih sayang. Dan gadis itu percaya, ibunya akan selalu menyayanginya di atas sana.
Lelaki itu mengusap air mata di pipinya dan berdehem-dehem, berusaha menghilangkan rasa tercekat di tenggorokannya. Ia membalikkan badan, lalu merogoh saku. Dia mencari handphone-nya, dan menekan beberapa tombol. Kemudian ia mengangkatnya ke telinga.
            “Ma, katakan pada anak-anak jika aku akan pulang besok,”
Cinta itu putih, dan kasih sayang itu sederhana. Tapi karenanya kau akan mengerti segalanya. **arindanadia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar