“Ma’afkan aku, tapi sungguh aku tidak bisa pulang
bulan ini. Aku ada proyek kerja yang cukup besar. Kumohon maklumlah jika proyek
ini akan cukup menyita waktu. Sepuluh menit lagi pun aku harus sudah siap di
ruang meeting. Benar-benar tidak ada
waktu, Sayang. Ma’afkan aku..”
Tut.
Pria itu memutuskan sambungan telepon dan kembali menyibukkan diri dengan tumpukan kertas
di meja kerjanya. Proyek, proyek, dan proyek. Pikiran tentang proyek kerja terus berputar di kepala lelaki dewasa itu.
Jam dinding berdetak keras. Detaknya selalu setia menemani pria itu. Sedetik yang lalu, dua detik, sekian detik, dan detik-detik berikutnya. Terdengar pula desis lembut mesin AC yang menyala sedari tadi. Buku-buku besar berbaris rapi di dalam almari. Kertas-kertas yang menumpuk di meja kerja, sebagian tampak tersebar tak beraturan di meja yang berada tepat di depannya. Sofa putih yang empuk. Meja pualam yang mengkilap. Lukisan-lukisan ‘berkilau’ yang menghias dinding kerjanya. Tidak ada kata ‘usang’ di sana. Yang ada hanyalah ‘mewah’, ‘anggun’, dan ‘indah’. Semua barang-barang di sana selalu nampak indah. Diantara sekian banyak barang indah yang terdapat dalam ruang elit itu ada sebuah bingkai foto yang terlihat berdebu dan tidak terurus. Seorang lelaki dewasa yang berdampingan dengan wanita dewasa nampak tersenyum disana. Pria itu terlihat sedang memeluk seorang anak laki-laki. Sedangkan sang wanita menggendong seorang bayi perempuan yang begitu manis.
Tut.
Pria itu memutuskan sambungan telepon dan kembali menyibukkan diri dengan tumpukan kertas
di meja kerjanya. Proyek, proyek, dan proyek. Pikiran tentang proyek kerja terus berputar di kepala lelaki dewasa itu.
Jam dinding berdetak keras. Detaknya selalu setia menemani pria itu. Sedetik yang lalu, dua detik, sekian detik, dan detik-detik berikutnya. Terdengar pula desis lembut mesin AC yang menyala sedari tadi. Buku-buku besar berbaris rapi di dalam almari. Kertas-kertas yang menumpuk di meja kerja, sebagian tampak tersebar tak beraturan di meja yang berada tepat di depannya. Sofa putih yang empuk. Meja pualam yang mengkilap. Lukisan-lukisan ‘berkilau’ yang menghias dinding kerjanya. Tidak ada kata ‘usang’ di sana. Yang ada hanyalah ‘mewah’, ‘anggun’, dan ‘indah’. Semua barang-barang di sana selalu nampak indah. Diantara sekian banyak barang indah yang terdapat dalam ruang elit itu ada sebuah bingkai foto yang terlihat berdebu dan tidak terurus. Seorang lelaki dewasa yang berdampingan dengan wanita dewasa nampak tersenyum disana. Pria itu terlihat sedang memeluk seorang anak laki-laki. Sedangkan sang wanita menggendong seorang bayi perempuan yang begitu manis.
Terngiang-ngiang
dengan percakapan bersama istrinya tadi, pria itu membanting pulpen miliknya.
Ia mendesah keras seiring ingatannya
dengan kedua anak dan wanita cantik dalam bingkai foto itu. Benaknya terasa
sesak, saat ia sadar bahwa sudah bertahun-tahun dia tidak memberi sebuah
belaian lembut kepada anak-anaknya. Tidak pula ia melihat senyum anggun dari
bidadari yang sangat dia cintai. Bahkan dia sudah lupa kapan terakhir kali
melewatkan pesta tahun baru bersama keluarga.
Keluarga.
Satu hal yang tidak asing lagi dari telinga. Keluarga adalah anugerah luar
biasa yang Tuhan berikan kepada kita. Ketika kita sama sekali tidak punya
sandaran, keluarga selalu membuka pelukannya lebar-lebar, kapanpun itu.
Begitupun ketika bahagia tiba. Senyum
manis selalu terlukis indah di raut wajah mereka. Siapapun akan merasa hangat
berada di tengah keluarga yang benar-benar rukun menemaninya di kala bahagia
ataupun duka.
Ia
menggelengkan kepalanya kuat-kuat, berusaha kembali memfokuskan diri dengan apa
yang berada di atas meja kerjanya. Dia merelakan dan mengabaikan rindu itu demi
menghidupi keluarga kecilnya. Sungguh, ia sungguh sayang pada keluarganya. Lagi-lagi
ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat untuk menghilangkan pikiran-pikiran
negatif dalam benaknya.
“Permisi
Pak Arifin, klien kita sudah menunggu
di ruang meeting. Ini juga ada berkas
baru yang harus bapak tanda-tangani,” seorang wanita bertubuh ramping berdiri
di samping pria itu setelah sebelumnya mengetuk pintu ruangan. Pria itu hanya
mengangguk, mengambil pulpen, dan segera menandatangani setumpuk berkas yang diserahkan
sekretarisnya. Kemudian ia berjalan menuju ruang meeting.
Sore
itu selesai meeting, udara terasa
begitu gerah. Berbagai pikiran yang berkecamuk di hatinya membuat suasana makin
gerah. Ia melangkahkan kakinya keluar, mencari udara segar.
Cuaca
panas, hiruk pikuk senja ibukota dengan para pejalan kaki yang gerah dengan
beribu-ribu pemikiran yang melayang. Klakson-klakson yang seakan bersahutan
satu dengan yang lain. Macet. Lagi-lagi penyakit ibukota kambuh. Banyak para
pengendara mulai gusar. Bagaimana jika terlambat solat? Bagaimana jika
terlambat sampai di rumah? Bagaimana, bagaimana, dan bagaimana? Beribu pikiran
sudah melayang dan tidak sedikit yang mulai terpancing amarah.
Berniat
mencari udara segar tapi malah terjebak kemacetan membuat lelaki itu mulai
frustasi. Ia mulai gusar, menggerutu sebal. Hampir setengah jam lebih kendaraan
tak bergerak.
Pria
itu tersadar dari pikirannya saat seorang gadis lusuh dengan sorot mata penuh
harap mengetuk kaca mobilnya. Gadis cilik itu memeluk setumpuk koran yang
nampaknya sudah bekas. Rambut panjangnya yang dikucir terlihat kusut dan tidak
terawat. Kulitnya kasar dan terlihat kusam.
“Permisi,
Paman, maukah kau membeli koran ini?”
Lelaki
itu mengernyitkan dahi. Ia bertanya-tanya dalam hati. Kenapa gadis kecil yang
begitu manis, dan bahkan usianya masih terhitung jari sudah berkerja sekeras
ini? Ya Tuhan, di dunia yang begitu kejam dia sudah mampu mencari uang.
Sepintas terlintas bayangan anak perempuannya yang kira-kira seusia dengan
gadis lusuh itu. Dan ia menyadari anak perempuannya sendiri masih sering
menangis di pangkuan ibunya. Jauh berbeda dengan gadis lusuh yang menawarkan
koran ini. Rasa iba mulai menyelimuti hatinya.
Menyadari
gadis itu terus-terusan memandangnya dengan penuh harap, lelaki itu berdehem
dan bertanya kepadanya.
“Kenapa
kau menjual koran-koran bekas ini?”
Gadis
itu kemudian memandangi koran yang dipeluknya sembari tersenyum penuh semangat.
“Sudah
lama aku menjual koran-koran bekas ini. Tetapi jarang laku. Padahal hari ini
ibuku berulang tahun, dan uangku tidak cukup untuk membeli sekuntum bunga Lily
sebagai kado ulang tahun ibuku. Aku mohon paman, belilah koran ini, aku
mohon...” gadis itu memohon dengan sangat sembari mengusap peluh di dahinya.
Dalam
sekejap perasaan sesak memenuhi hatinya. Ya Tuhan, hanya demi membelikan hadiah
ulang tahun untuk ibunya, gadis ini rela kepanasan berjualan koran? Disaat
orang-orang yang bergelimang harta sibuk menghabiskan kekayaannya, disaat para
pemimpin-pemimpin negara yang duduk dengan bangga di singgasananya sibuk
mengisi perut, gadis lusuh yang seharusnya duduk manis menerima pelajaran di
kelas ini justru sibuk dengan koran-koran bekasnya. Dengan sorot mata penuh
harap, bibir tipis yang tak henti-hentinya tersenyum, dan peluh yang bercucuran,
gadis itu terus bersemangat mencari uang. Padahal di luar sana, anak-anak
seusianya masih meminta dengan manja kepada orang tua mereka. Pria itu meringis
melihat pemandangan di sana. Di tengah dunia yang kian kejam, gadis lusuh
tersebut masih berusaha memberikan yang terbaik untuk sang ibu. Bagaimana
dengannya? Apakah dirinya sudah benar-benar memberikan kasih sayang dan
perhatian yang cukup untuk keluarganya?
“Jadi..
bagaimana, Paman? Apakah Anda mau membelinya?” gadis itu kembali tersenyum
Pikirannya
buyar seketika. Tanpa ragu, ia mengeluarkan dompet dari saku celananya. Wajah
gadis itu semakin cerah saat tahu koran-korannya akan dibeli. Tapi ketika sang
pria mengulurkan uang padanya, gadis itu tampak kebingungan. Alisnya berkerut.
“Mmm..
Maaf, Paman, uangnya terlalu banyak. Paman ingin membeli berapa?” gadis itu
bertanya dengan wajah polos. Lelaki itu tersenyum lembut. Ia menatap mata gadis
itu.
“Ambillah
uang ini, belikan sekuntum bunga Lily untuk ibumu. Hari ini ibumu berulang tahun,
bukan?”
Mata
gadis lusuh itu nampak bersinar. Ia tidak percaya ada yang mau membeli
korannya, bahkan dengan uang lebih. Dia nampak sangat bahagia dan mengucapkan
rasa terimakasihnya bekali-kali.
“Bagaimana
jika Paman ikut aku? Pasti ibu akan senang apabila mengetahui Paman telah
membantuku,”
Sungguh,
pria itu bukan sembarang pria. Dia sudah lihai dalam kehidupan sosial. Pria itu
telah bertemu dengan orang-orang yang berbeda kepribadian. Sudah handal
mengatasi klien-klien licik. Tapi
dalam momen sesingkat itu, seketika ia percaya kepada seorang gadis cilik yang
bahkan baru dikenalnya senja itu. Ia menganggukkan kepalanya dan mempersilahkan
gadis lusuh itu masuk ke dalam mobil.
“Mmm..
Paman, aku belum pernah menaiki mobil semewah ini. Aku tidak tahu cara masuknya,”
gadis itu berkata sambil nyengir. Pria dewasa itu tersenyum tipis dan
membukakan pintu mobil untuknya.
Gadis
lusuh itu duduk di kursi belakang. Matanya bersinar memancarkan kekaguman
sambil memandangi bagian-bagian mobil lekat-lekat. Ia terkikik melihat
kemacetan ibukota dari dalam mobil. Koran-koran bekas itu masih berada di
pangkuannya. Dia tersenyum kegirangan saat merasakan kursi empuk yang belum
pernah ia temui sebelumnya. Pria itu memandang gadis lusuh itu dengan tatapan
haru. Lagi-lagi ia teringat anak perempuannya di rumah. Ah, sungguh, dia rindu!
Kendaraan
mulai berjalan perlahan dan lalu lintas mulai lancar walau seakan berjalan
merayap. Mereka berhenti di sebuah toko bunga dan membeli sekuntum Lily putih
untuk diserahkan kepada ibu sang gadis. Agak susah mencarinya. Bunga Lily
memang jarang diminati. Tetapi entah mengapa, gadis dan ibunya itu sangat
menyukainya. Lily putih itu seakan menggambarkan kehidupan mereka. Sebuah
kesederhanaan dengan harapan dan ketulusan.
Beberapa
saat kemudian, mereka sampai di sebuah tempat yang sesuai dengan alamat yang
diberikan gadis itu. Daerah tersebut cukup asing baginya hingga ia sedikit
kebingungan disana. “Paman, ayo turun. Mari bertemu ibuku,” ia tampak
bersemangat. Diajaknya pria tersebut turun dari mobil.
Lelaki
itu seketika membeku. Bukan, bukan rumah kumuh atau gubuk reyot yang kini ada
di depannya. Melainkan sebuah gerbang besar dari besi berkarat dengan pagar
batu yang sudah rusak. Ia menelan ludah, berusaha menyingkirkan kemungkinan
terburuk yang akan dia lihat.
“Ayo,
Paman, tidak usah sungkan-sungkan. Mari ikuti aku,” gadis itu tersenyum manis
kepada pria yang dipanggilnya ‘paman’ tersebut. Lelaki itu berjalan mengikuti
langkah gadis kecil yang mulai memasuki gerbang. Tanah hijau dengan hamparan
batu nisan dengan ukiran nama pada masing-masing batu membuat pria itu kembali
menelan ludah. Ia berpikir mungkin ibu gadis itu bekerja disini.
Gadis
tersebut melangkah cepat, seolah dia sudah tahu pasti dimana ibunya berada. Ia
pun terhenyak tatkala gadis lusuh itu berhenti di sebuah nisan, dan meletakkan
bunga Liliy yang ia beli di atasnya.
“Ibu,
hari ini ibu berulang tahun, kan? Selamat ulang tahun, ya.. Ma’afkan aku baru
bisa membelikan bunga kesukaan ibu. Ini semua berkat paman ini, Bu,” gadis itu
berkata sambil menoleh ke belakang, tersenyum manis sekali kepada lelaki itu.
Lelaki
itu hanya mengangguk, tertegun. Lagi-lagi ia menelan ludah. Ia masih tidak
percaya, gadis itu membelikan hadiah ulang tahun untuk ibunya, padahal ibunya
sudah tiada. Ia masih ingat kapan ulang tahun ibunya, masih ingat apa yang
ibunya suka. Setetes air bening menetes di pipinya. Selama ini dia tidak pernah
memikirkan apa yang disukai anaknya, apa yang diinginkan istrinya. Ia tidak
pernah berpikir bahwasanya kesempatan untuk bersama yang tersisa suatu saat
akan habis. Hatinya teriris melihat pemandangan di depannya. Meskipun maut
memisahkan mereka, tapi kasih putih dari gadis itu tidak pernah pudar. Di
jantung rindunya sang ibu adalah keabadian, yang mengenalkan dan mengekalkan
makna kasih sayang. Dan gadis itu percaya, ibunya akan selalu menyayanginya di
atas sana.
Lelaki itu mengusap air mata di pipinya dan
berdehem-dehem, berusaha menghilangkan rasa tercekat di tenggorokannya. Ia membalikkan
badan, lalu merogoh saku. Dia mencari handphone-nya,
dan menekan beberapa tombol. Kemudian ia mengangkatnya ke telinga.
“Ma,
katakan pada anak-anak jika aku akan pulang besok,”
Cinta itu putih, dan kasih sayang itu sederhana. Tapi karenanya
kau akan mengerti segalanya. **arindanadia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar